Ratusan motor menderu, berpacu kekuatan dengan beberapa jeep yang muncul dari balik debu. Mereka berkejaran mengejar waktu, agar tidak terlambat dengan menyapa matahari yang bisa setiap saat muncul di balik punggung Bromo.
Malam memang belum terlalu tua, dan salah satu tempat paling favorit untuk menyambut matahari terbit adalah di salah satu objek foto Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia ini, di pegunungan Bromo. Satu persatu manusia-manusia yang berhasil melewati padang pasir Bromo menapaki Penanjakan, atau langsung menuju kawah Bromo untuk menunggu matahari di pinggirannya.
Saya dan rombongan pengantar bule Jepang masih dibalut kantuk terguncang-guncang di bak belakang jeep terbuka yang membawa kami dari Tumpang. Sepuluh orang tiap rombongan, melewati jalan setapak yang luar biasa rusak. Pinggang harus beradaptasi dengan cepat mengikuti ayunan jeep yang dibawa mas sopir bertubuh besar berselimut sarung ungu. Mas sopir yang cukup senang dipanggil mas saja nampak santai mengoper gigi, menginjak rem, dan menggeber gas ketika melibas tikungan demi tikungan menuju gurun pasir Bromo.
‘Wis biyasa, mas. Malah wis apal mari iki belokane nang ndi,’ katanya. Nyaris setiap hari mas sopir melahap trek Tumpang – Bromo pergi pulang mengangkut penumpang. Setiap tikungan, setiap lubang jalanan sudah dihapalnya luar kepala. Dinginnya Bromo sudah kebal di kulitnya. Bahkan mas sopir memberi pilihan ketika berangkat, mau pelan atau mau cepat sampai?
Kami berdua puluh sepakat bilang: SANTE AE MAS!
Enam puluh menit kemudian kami menyesali permintaan itu.
Badan kami memang badan anak kota, tidak mudah menyesuaikan diri dengan suhu kawasan Bromo yang membeku. Berbeda dengan mas sopir yang sudah biasa melewatkan waktunya melahap trek Tumpang Bromo. Kami jadi tidak heran dengan penawarannya sebelum berangkat untuk memilih cepat atau lambat. Badan kami kaku kedinginan, sementara mas sopir dengan tenang membungkus badannya dengan sarung ungu yang dibawa sekaligus menutupi hidung dan mulutnya dari serbuan debu pasir yang dikirim jeep-jeep lain yang melintas.
Penanjakan tidak lagi seru. Kami malah ingin buru-buru merasakan petualangan di pasir Bromo kembali ketika turun dari Penanjakan. Trip selanjutnya ke kawah Bromo kami lewati dengan teriakan-teriakan menikmati manuver cantik mas sopir di tikungan sampai ke lapangan parkir di mana ratusan jeep menanti tuannya dan mas sopir bertemu teman-temannya.
Masih takjub dengan keahlian mengemudi mas sopir, kami kembali tertampar dengan kekuatan kaki pak pemilik kuda yang siap mengantar ke kaki tangga kawah Bromo. Kebijakan pengelola Kawasan Bromo Tengger Semeru yang melarang mobil pribadi masuk ke area Bromo memberikan banyak lahan pekerjaan baru bagi penduduk sekitar. Mulai dari persewaan jeep seperti mas sopir, ojek di pelataran parkir penanjakan, warung outdoor di lapangan parkir lautan pasir, sampai jasa angkut naik kuda.
‘Kudanya mas.. Sampai tangga 150 ribu saja,’ tawar pak pemilik kuda ke setiap pengunjung yang memilih berjalan kaki. ‘Daripada capek naik kuda saja lebih cepat, pak. Mbak ngga capek mbak?’ sambung pak pemilik kuda.
Aslinya sih.. pengen naik kuda, tapi saya tidak menawar jasa mereka. Jatuh iba rasanya melihat bapak yang menawarkan jasanya sudah cukup tua. Walau lebih iba lagi jika melihatnya tidak mendapatkan penumpang, berarti dia bisa-bisa tidak mendapat uang. Namun tenaga saya masih cukup kuat untuk menempuh perjalanan ini dengan berjalan kaki sambil menikmati pemandangan. Dan persaingan penawaran jasa pak pemilik kuda berlanjut ke rombongan lain.
Melihat persaingan jasa sewa jeep dan jasa angkut kuda di lautan pasir Bromo ini… bikin saya menghela nafas panjang. Dunia ini adil. Keindahan Bromo seolah menjadi magnet bagi hadirnya ribuan pengunjung setiap harinya. Dan agar tidak dirusak tangan-tangan tidak bertanggungjawab, pengelola Kawasan Bromo Tengger Semeru memberi keleluasaan bagi penduduk sekitar untuk mengais rejeki dari Bromo yang menghidupi. Jeep adalah tenaga mesin berteknologi yang mungkin tidak mampu dimiliki oleh penduduk sekitar sehingga perlu ditopang dari lingkaran lain di luar Bromo Tengger Semeru. Penduduk asli sekitar memilih menjual jasa kuda, menyediakan makanan, souvenir bunga edelweis, dan souvenir kaos manis untuk dibawa pulang. Jangan lupa, ada jasa pijat kaki juga bagi para pengunjung. Banyak celah yang bisa dimanfaatkan, banyak jasa yang bisa dijual lewat kemegahan Bromo.
Walau banyak caci maki karena ada pengunjung yang tidak leluasa menunjukkan keperkasaan mobilnya, langkah ini cukup adil. Kita, pengunjung hanya berhak mengambil keindahan Bromo salah satu ikon Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia dalam foto dan kenangan, namun keuntungan dari kunjungan kita ditujukan sebesar-besarnya bagi masyarakat di sekitar kawasan Bromo Tengger Semeru. Penduduk yang mengambil keuntungan dari Bromo tidak lupa untuk ikut menjaga kebersihan tempatnya bekerja. Kadang kita pengunjungnya lupa membuang sampah pada tempatnya, namun dengan pembagian ‘pintu rejeki’ yang adil seperti yang ditetapkan pengelola, sambil menghela kudanya mereka juga turut membersihkan jalur yang dia lewati.
Dunia ini adil.
terinspirasi dari foto Terpikat Bromo